Senin, 06 Agustus 2012

Air Mataku, Kamu.


Mendengarkan NOAH – Separuh Aku, sungguh membuat aku mengingat satu nama yang sudah sangat lama aku kenal dan sangat kurindukan memelukmu dalam raga, bukan jiwa semata seperti yang selama ini kulakukan setiap saat. Saat dimana aku melewati jalan ini ratusan bahkan sudah ribuan kali kulewati dan selalu aku bertemu wajah – wajah baru yang terus saja memberikan senyum untukku yang tak pernah aku tau maknanya tetapi tetap saja mereka berikan dan tanpa pernah berhenti. Mungkin mereka hanya ingin menyampaikan pesan ilalang atau pesan dari rumput yang bergoyang bahwa seseorang disana merindukanmu sekarang. Kalimat yang hanya bisa disampaikan kepada mereka untuk mereka kabarkan kepadaku disini, jauh dari tempat dimana dia berada sekarang. Ataukah pesan dari Tuhan yang mereka terima sebagai ilham atas berdetaknya jantung dan berfungsinya hati mengalirkan cairan merah darah yang dititipkan dalam roh untuk mereka wujudkan dalam setiap senyum mereka kepadaku, pesan yang hanya ingin mengatakan bahwa setiap manusia itu memiliki jodoh masing – masing dan hanya Sang Khaliq saja yang tau siapa dan dimana aku akan bertemu dan untuk sekarang doamu ada dalam tanganNya hanya menunggu saat tepat untuk dikabulkan dan aku hanya diminta untuk terus bersabar dalam hidup yang aku jalani sekarang.

Beribu hari yang telah terlewati, adalah beribu tusukan badik tajam dalam tubuhku yang meninggalkan luka menganga yang masih saja terbuka dan berdarah. Luka yang tak akan pernah berhenti dan akan terus terulang dan bertambah jumlahnya seiring hari yang aku lewati. Luka yang mengingatkan diriku bahwa seseorang disana memiliki luka yang sama dan dalam jumlah yang sama, yang membedakan hanyalah lukaku jauh lebih dangkal dan tidak sedalam luka yang ditinggalkan ditubuhnya disana. Dan itu sungguh meremukredamkan hatiku yang aku tangisi setiap hari dalam setiap hembusan nafasku saat jiwaku memeluk jiwamu dalam sisi terdalam hatiku, hanya sekedar mengatakan “sungguh, aku sangat menyayangimu. Tak akan tergantikan dirimu disini ditempat dimana hanya kamu yang bisa mengisinya” dan itupun tak membuat ragaku menjadi lebih baik.


Seperti dalam DEWA 19  - Kirana, aku juga ingin kau sadari…aku tak pernah tahu kenapa aku dilahirkan kedunia. Yang aku tahu, aku dilahirkan disini tidak untuk menjadi algojomu, tidak juga untuk membuat jiwamu mati meskipun ragamu telah dimatikan oleh yang lainnya. Tapi aku tidak seperti itu. Aku hanya terlahir dalam air suci, jernih dan mengalir dalam setiap darahku, tapi aku hidup dalam kubangan lumpur yang tak bertepi dan tak pernah tersadar untuk kembali membangkitkan imanku sama seperti dulu disaat aku masih berada dalam surau itu. Suara adzan yang mengalun lirih, menyayat hatiku mendidihkan darahku yang berteriak kesetanan dalam balutan doa “ampuni aku Tuhan karena menyakiti hatinya, biarkan aku terima sakit dan pedih ini tapi bahagiankanlah dia. Jangan Kau lihat aku, tapi terangilah dia dalam cahayaMu…biarkan luka, dan pedihnya untukku

Lama…lama sekali sungguh aku tak melihat ragamu, yang aku lihat hanya jiwamu. Dan aku ingin memeluk ragammu Kirana, raga suci yang terlahir dalam balutan doa bahagia Ayah Bunda tercinta. Satu yang tersisa, “Mengapa kau tiupkan nafasku kedunia? Hidup tak kusesali mungkin kutangisi, kuingin rasakan cinta”. Sebait lagu yang menjadi sejuta tanya dan sebait doa untukku. Sementara itu, kau disana dengarlah laraku, suara hati ini memanggil namamu karena separuh aku adalah dirimu.

Disini, aku mencoba mengurai kehendak Tuhan dalam tubuhku yang mulai tak sanggup lagi menerima tikaman badik yang menghujamku setiap waktu, sementara jiwaku masih mendekap erat jiwa indahmu yang sangat sempurna. Kebersamaan raga, hanya tinggal menunggu waktu dalam takdir Ilahi. Aku disini, terpaku dan terlalu lemah untuk berteriak lantang menyuarakan sungguh betapa aku menginginkan ragamu. Entah bagaimana caranya agar engkau mengerti, bahkan bahasa tubuhkan dalam ekspresi gelombang yang ditangkap oleh angin yang akan dikabarakan oleh ilalang dan rumput yang bergoyang, disini aku dalam munajat kepada Rabbku “tunggulah aku untuk memeluk ragamu dan tak akan pernah aku lepaskan lagi”.

Mungkin juga kau tak akan pernah mengerti semuanya, hanya saja harapan sang Pungguk bukan lagi sang Bulan..tapi sang Pungguk mungkin sudah rasional, serasional kodrat air yang akan selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah tanpa harus menunggu perintah karena memang sudah diperitahkan oleh Komandan Tertinggi jauh sebelum air diciptakan. Begitulah aku, sang Pungguk yang telah rasional tak Cuma hanya bisa memandang sang Bulan, iapun berdoa dan bersekolah. Aku ada disini, dan kau disana pahamilah bahwa kau tak pernah sendiri karena aku ada didekatmu selalu saat kau terjatuh, dan aku ingin kau sadari bahwa cintamu bukan dia, tapi aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar