Setiap karyawan
(pekerja/buruh) berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya -selama- 12 hari
kerja setelah (masing-masing) karyawan yang bersangkutan bekerja (mempunyai
masa kerja) selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut (lihat pasal 79 ayat [2]
huruf c UU No. 13/2003 jo pasal 7 ayat [1] dan penjelasannya PP No. 21/1954).
Hak tersebut harus diambil (dimohonkan) secara terus menerus -selama 12 hari
kerja-. Namun, apabila ada kesepakatan antara karyawan dengan pengusaha
(manajemen), hak cuti tahunan dapat dibagi-bagi dalam beberapa bagian (secara
parsial), dengan ketentuan harus tetap ada satu bagian yang sekurang-kurangnya
selama 6 hari kerja secara terus menerus (lihat pasal 6 PP No. 21/1954).
Sebaliknya, apabila
hak cuti karyawan telah timbul, maka pengusaha harus memberikan kesempatan
kepada karyawan yang bersangkutan untuk mengambilnya. Walaupun –bisa
disepakati- atas dasar pertimbangan pengusaha, atau adanya kepentingan yang
sangat membutuhkan penanganan (kepentingan perusahaan yang nyata), hak cuti
tahunan tersebut dapat ditangguhkan untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan
sejak timbulnya hak dimaksud (lihat pasal 5 PP No. 21/1954).
Selanjutnya, apabila
karyawan diputuskan hubungan kerjanya (“PHK”) dan pada saat terjadi PHK
karyawan yang bersangkutan telah mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 6
bulan sejak saat timbulnya hak cuti tahunan yang terkahir, maka (dalam hal ini)
karyawan berhak atas suatu kompensasi cuti tahunan (penggantian istirahat
tahunan) yang merupakan bagian dari uang penggantian hak sebesar upah penuh
pada hari-hari kerja (lihat pasal 7 ayat [1] dan ayat (2) serta penjelasannya
PP No. 21/1954 jo pasal 156 ayat [4] huruf a dan pasal 77 ayat (2) UU No.
13/2003).
Tidak ada ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya kompensasi/insentif
(berupa uang) sebagai penggantian cuti tahunan yang tidak diambil oleh karyawan
(baik sebagian maupun seluruhnya). Artinya, kalau karyawan telah diberi
kesempatan untuk cuti dan tidak ada (kesepakatan) penangguhan serta tidak ada
kepentingan perusahaan yang sangat membutuhkan penanganan (kepentingan
perusahaan yang nyata), maka jika tidak diambil, hak cuti karyawan yang
bersangkutan gugur dengan sendirinya.
Namun demikian,
tentunya para pihak, yaitu karyawan dengan manajemen/pengusaha, dapat
memperjanjikan (menyepakati) adanya –uang- kompensasi/insentif sebagai
penggantian cuti tahunan yang tidak diambil, baik dalam perjanjian kerja (“PK”)
dan/atau dalam peraturan perusahaan (“PP”)/perjanjian kerja bersama (“PKB”), ataukah
-hanya- disepakati (tertulis dan secara sporadik) pada saat timbulnya hak
dimaksud. Dalam arti, penggantian cuti tahunan tidak otomatis timbul dengan
sendirinya, akan tetapi harus disepakati dan -jika perlu- diperjanjikan/diatur
(dituangkan) dalam PK dan/atau PP/PKB.
Apabila para pihak
memperjanjikan/mengatur dalam PK, PP/PKB, maka akan menjadi norma (otonom) yang
wajib dipatuhi oleh pihak yang bersangkutan. Dengan dasar perjanjian tersebut,
barulah timbul hak atas kompensasi/insentif seperti yang Saudara maksudkan.
Akan tetapi –sebaliknya- kalau itu hanya sekedar kesepakatan sporadik (saat
timbulnya hak), maka tidak dapat diklaim sebagai hak yang bersifat normatif
(yang berlaku setiap tahun dan sama bagi setiap karyawan).
Berkenaan dengan
pertanyaan Saudara, dapat kami simpulkan, bahwa manajemen (perusahaan) tidak
wajib memberikan penggantian cuti tahunan yang tidak diambil oleh karyawan,
sementara manajemen telah memberi kesempatan untuk itu. Undang-undang hanya
mengatur kompensasi atau penggantian cuti tahunan -dengan uang- bagi karyawan
yang putus hubungan kerjanya (ter-PHK) jika memenuhi syarat yang ditentukan
sebagaimana tersebut di atas (lihat pasal 156 ayat [4] huruf a UU No. 13/2003
jo pasal 7 ayat [1] dan penjelasannya PP No. 21/1954).
Perhitungan besarnya
kompensasi atau penggantian cuti tahunan karena PHK sebagaimana dimaksud,
adalah upah penuh untuk hari-hari cuti yang –tentunya– disesuaikan dengan pola
waktu kerja yang dipilih, atau ketentuan waktu kerja yang diterapkan (lihat
pasal 7 ayat [2] dan penjelasannya PP No. 21/1954). Pada umumnya rumus yang
dipakai (sesuai pola waktu kerja 6:1, yakni 6 hari kerja dan 1 hari istirahat),
adalah 1/25 x upah x hak cuti yang belum diambil (bandingkan dengan ketentuan
pasal 9 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor Kep-102/Men/VI/2004).
Tiga putusan MA
memakai bilangan pembagi 25 guna menghitung uang pengganti cuti tahunan. Ketiga
putusan itu adalah Putusan Nomor 24 K/PHI/2007, 25 K/PHI/2007, dan 175
K/PHI/2007. Putusan pertama adalah perkara PT Rajawali di Bandar Lampung
melawan Hartono, karyawannya. Putusan kedua adalah perkara PT Parindo Permai
dari Lampung Selatan melawan pekerjanya, Berta Apriana Kifli. Sedangkan putusan
terakhir adalah kasus pekerja yang bernama Jemi lawan CV Bumi Waras Way Lunik
asal Bandar Lampung.
*) www.hukumonline.com
Saya berpendapat juga bahwa sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Peraturan
Istirahat Buruh Pasal 1 ayat (b) poin (2) menyebutkan bahwa tiap - tiap 23 hari
bekerja mendapatkan 1 9satu) hari istirahat dan paling banyak 12 hari dalam 12
bulan. Jadi apabila factor pembaginya diperhitungkan dengan angka 23 - pun tetap dapat dipergunakan
saya mau tanya, apakah cuti tahunan ada uangnya, kalau ada bagaimana perhitungannya..???
BalasHapusDear Banq zex
HapusTerima kasih sudah membaca blog saya
Pada prinsipnya, Cuti Tahunan hanya dapat diuangkan (kompensasi) apabila karyawan keluar dari perusahaan baik karena resign, PHK atau sebab lain sebagai salah satu komponen Uang Pengganti Hak sesuai pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan No 13/2003
Untuk pelaksanaannya, menurut UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan pasal 72 bahwa pelaksanaan Cuti Tahuna diatur dalam Peraturan Perusahaan dan atau Perjajian Kerja Bersama.
Begitu juga untuk perhitungan kompensasi Cuti Tahunan beragam sesuai kebijakan perusahaan. Berikut beberapa contohnya :
- (sisa Cuti tahunan/12) x Gaji Pokok
- (sisa Cuti tahunan/12) x (Gaji Pokok+Tunjangan Tetap)
Terima Kasih, semoga membantu.