Karena
setiap hari saya lewat di depan masjid tersebut, dan melihat sang Ibu selalu
meratapi kepergian suaminya yang sudah meninggal 6 hari tetapi masih saja ia
berurai air mata. Karena penasaran akhirnya saya bertanya kepada sang Ibu.
"Kenapa ibu selalu menangisi
kepergian pak haji? adakah hal yang belum terlaksana atau ada janji yang tidak
ditepati ataukah ketidaksanggupan ibu untuk menjalani hari-hari berikutnya
sorang diri tanpa ada pak haji?"
"Bukan itu mas. Bukan kepergian Bapak yang
saya tangisi, bukan juga karena ada janji atau ada hal yang belum terlaksana.
Bkan juga karena harus menjalani hidup tanpa kehadiran Bapak. Anak-anak,
menantu dan cucu-cucu cukup menemani hari-hari saya." Jawab Bu Haji
dengan tatapan sayu karena terlalu banyak menangis.
"Dulu sebelum Bapak meninggal, saya berharap
semoga saya lebih dulu menghadap Alloh sebelum suamiku. Agar seluruh hidupku
telah saya abdikan sebagai istri dari suamiku dan ibu dari anak-anakku hingga
detik terakhir. Tetapi kehendak Alloh berlainan dengan harapan saya, Bapak yang
harus meninggal terlebih dahulu sebelum saya. Sekarang saya tidak lagi bisa mendapatkan
segala kemudahan syurga seperti saat saya mendampingai Bapak. Ketika masih ada
Bapak, senyum ikhlas saya kepada Bapak, adalah pahala besar istri telah
menyenangkan hati suami. Ketika Bapak tidak mengijinkan say keluar rumah,
sayapun ikhlas tetap berada dirumah. Sekarang Bapak sudah tidak ada, pahala
atas ibadah saya sebagai istri sekarang menjadi susah saya dapatkan tidak
seperti ketika saya masih ada Bapak. Itulah yang saya tangisi setiap hari,
kehilangan kesempatan emas untuk menjadi penghuni syurga dari amalan ibadah
seorang istri.” Jawab Ibu dengan mata berkaca-kaca.
Tak
ada lagi kata yang bisa saya katakan, hanya diam dan tak tau mesti berbuat apa.
Pamit kembali berangkat ke kantor yang bisa saya lakukan dengan meninggalkan
sang Ibu ada di makam sang suami.
Terlepas
dari benar atau salah statement yang dikeluarkan bu haji, ada sebuah makna
besar terkandung disitu bahwa setiap hal yang saling membahagiakan, atau aktifitas
apapun selama masih dalam koridor iman dan islam yang dilakukan berdua bersama
sebagai suami istri adalah terdapat pahal yang sangat besar. Subhanalloh.
“Akan lebih sempurna ketakwaan seorang Mukmin”,
kata Rasululloh saw.,”jika ia mempunyai
seorang istri yang shalikhah, jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang
membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpaj membuatnya merasa adil,
jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya”
Abdullah
bin ‘Abbas, kata Ath-Thabrani dan Ibn Mardawaih, meriwayatkan bahwa Rasululloh
saw., bersabda “Ketika seseorang masuk ke
syurga, ia menanyakan orangtua, istri dan anak-anaknya. Lalu dikatakan padanya, ‘Mereka tidak mencapai derajat amalmu’. Ia berkata ,’Ya Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka’. Lalu Alloh memerintahkan untuk menyusulkan
keluarganya ke syurga itu”
Jika
pernikahan Anda dan kita barokah, insyaalloh, kita akan mendapatkan pernikahan
sebagai jalan yang menyelamatkan. Siapa saja yang memperoleh keselamatan? Anda
sendiri, istri/suami, anak, cucu, serta orang tuan termasuk mertua. Mereka akan
saling tolong menolong dengan amalnya, sepanjang anak, cucu, istri/suami, orangtua
dan mertua tetap dalam keimanan dan takwa. Mereka yang derajat amalnya kurang
disusulkan kepada yang derajat amalnya lebih tinggi.
Kenapa mertua bisa kita
selamatkan dari jalan pernikahan?
Mertua
adalah ora tua dari Istri/Suami sebagai pendamping hidup kita. Jika saat
menikah, istri meniatkan untuk mencapai keselamatan agama dan menjaga
kehormatan farjin-nya, insyaalloh yang demikian ini dapat membawa orang tuanya
kepada keselamatan dunia akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar